PERKEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN
SENI RUPA
DI INDONESIA
Perkembangan
dalam dunia pendidikan selalu dilakukan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
kebutuhan jaman yang semakin meningkat. Pendidikan seni di negara kita telah
mengalami berbagai pembaharuan dari waktu ke waktu.
Pembaharuan
ini dilakukan guna meningkatkan kualitas pendidikan seni. Salah satu usaha
pemerintah yang secara sentral memperbaharui sistem pelaksanaan pendidikan seni
adalah penyempurnaan kurikulum. Kurikulum yang sedang dilaksanakan senantiasa dievaluasi
dan disempurnakan setiap periode tertentu untuk menghadapi perkembangan masyarakat,
ilmu pengetahuan, teknologi, dan dinamika kebudayaan secara keseluruhan. Kurikulum
Pendidikan Seni telah beberapa kali mengalami perubahan dan penyempurnaan.
A. Kurikulum Pendidikan Seni
sebelum Kemerdekaan
Pada tahun 1930-1945 kurikulum pendidikan
seni sangat berorientasi vokasional dengan penekanan pada penguasaan
keterampilan menggambar yang sangat relevan dengan bidang ketukangan dan
industri kecil.
Pada masa ini, pelajaran seni rupa (karena dianggap
tidak memiliki nilai strategis) upaya itu tidak dilakukan sehingga para guru
membuat acauan berdasarkan interpretasinya masing-masing dan cenderung mengikuti
pola kurikulum sebelumnya. Usaha para guru ini pada umumnya tidak terlalu mempersoalkan
peran pendidikan seni rupa terhadap peserta didik. Dengan demikian dapat diduga
kurikulum pendidikan seni rupa pada saat itu cenderung masih berwarna vokasional
yang menekankan pada penguasaan keterampilan menggambar.
Pada masa kemerdekaan 1945-1948 sekolah
cenderung menumbuhkan usaha menanamkan semangat untuk mengusir penjajah. Secara
sengaja maupun tidak, mempengaruhi karakteristik materi pembelajaran. Mata
pelajaran olah raga diisi dengan kegiatan bela diri dan baris berbaris ala
tentara, pelajaran menyanyi diisi dengan lagu-lagu perjuangan, demikian juga
dengan pelajaran seni rupa (menggambar) diisi dengan kegiatan menggambar
poster-poster perjuangan dan menggambar yang bertemakan anti penjajahan.
B. Kurikulum Pendidikan Seni Setelah Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan kurikulum pendidikan seni rupa
(menggambar) di Indonesia masih mengikuti pola kurikulum pendidikan seni di
Belanda terutama di wilayah Indonesia bagian Timur.
Buku-buku yang dipengaruhi gerakan reformasi
pendidikan seni di Belanda ini telah mengarah kepada reformasi mata pelajaran
menggambar. Sasaran reformasi ini adalah menggambar konvensional yang esensial
ke menggambar ekspresi yang kontekstual serta perubahan prinsip pendidikan seni
dari pola transmisi menjadi pola pemfungsian seni sebagai sarana pendidikan
secara umum. Istilah seni pun telah merangkum semua cabang seni termasuk
menggambar.
C. Kurikulum Pendidikan Seni 1975 dan 1984
Pada tahun1975 terjadi perubahan yang menyeluruh
pada mata pelajaran ekspresi, yang sebelum itu dalam kurikulum sekolah umum
dikenal dengan nama mata pelajaran menggambar dan seni suara. Pembaharuan dapat
dilihat dengan penggantian nama mata pelajaran itu menjadi ‘Pendidikan
Kesenian’. Isi bidang studi pendidikan kesenian itu merupakan penggabungan
pelajaran menggambar dan seni suara ditambah sub bidang studi lain yaitu seni
tari dan teater.
Kurikulum 1975 disempurnakan lagi pada tahun 1984
dengan sebutan kurikulum 1984. Penyempurnaan ini ditandai oleh penggantian
istilah pendidikan kesenian menjadi pendidikan seni. Pembaruan kurikulum 1984 dengan
digunakannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional sebagai dasar dari pembuatan
kurikulum.
D. Kurikulum Pendidikan Seni 1994 dan Suplemen
Kurikulum 1994 mengunakan ‘integrated learning’ atau pembelajaran terpadu antara beberapa
cabang seni. Nama pendidikan seni berubah pula menjadi ‘Kerajinan Tangan dan
Kesenian’.
Pengajaran terpadu dalam Kerajinan Tangan dan
Kesenian (disingkat: KTK) ini bermuatan wawasan kedaerahan (muatan lokal),
sebab di dalamnya diharapkan para guru dan siswa mampu menggali seni kriya
(kerajinan) yang tumbuh di daerah sekitarnya. Sejalan dengan perkembangan dan
tuntutan di lapangan, perkembangan kurikulum Suplemen pun lahir sebagai upaya
untuk merevisi dan melengkapi kekurangan yang terdapat pada Kurikulum 1994.
E. KBK, Kurikulum 2004
Kurikulum 2004 yang lebih dahulu populer dengan
sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), pemerintah pusat hanya menentukan
Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Indikatornya saja. Masing-masing
daerah di bawah kordinasi Dinas Pendidikan pada tingkat Propisnsi, Kabupaten
atau Kota berupaya untuk mengembangkan materi kurikulum dan pembelajaran.
Standar kompetensi yang dirumuskan dalam KBK sangat
jelas yaitu mempersiapkan peserta didik agar memiliki kapabilitas pengetahuan
serta keterampilan seni sejalan dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
F. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006
Belum genap dua tahun pelaksanaan kurikulum 2004
pemerintah mengeluarkan kurikulum baru tahun 2006 yang dikenal dengan sebutan
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Nama mata pelajaran Pendidikan Seni
pun berubah menjadi mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan untuk jenjang
sekolah dasar, sedangkan untuk tingkat sekolah-sekolah menengah pertama dan
atas, nama mata pelajaran ini disebut dengan Seni Budaya.
Dalam Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar
Isi Kurikulum 2006 dijelaskan bahwa mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya
merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya. Dalam naskah yang sama
disebutkan juga bahwa Pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan diberikan di
sekolah karena keunikan, kebermaknaan, dan kebermanfaatan terhadap kebutuhan
perkembangan peserta didik. Kebermaknaan dan kebermanfaatan ini terletak pada
pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan
berapresiasi melalui pendekatan: “belajar
dengan seni,” “belajar melalui seni” dan “belajar tentang seni.” Peran inilah
yang diyakini oleh para pakar pendidikan tidak dapat diberikan oleh mata
pelajaran lain.
No comments:
Post a Comment